Kamis, 17 Januari 2013

toleransi anta umat beragama


Toleransi berasal dari bahasa Latin yaitu “tolerare” yang berarti bertahan atau memikul.  Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia, toleransi berasal dari kata “toleran”, yang berarti bersifat atau bersikap menenggang (menghargai, membiarkan, membolehkan), pendirian (pendapat, pandangan, kepercayaan, kebiasaan, dan sebagainya) yang berbeda dan atau yang bertentangan dengan pendiriannya.  Toleransi juga berarti batas ukur untuk penambahan atau pengurangan yang masih diperbolehkan.
Menurut Siagian (1993) toleran diartikan dengan saling memikul walaupun pekerjaan itu tidak disukai; atau memberi tempat kepada orang lain, walaupun kedua belah pihak tidak sependapat. (Ajat Sudrajat, 2008:141)
Dalam bahasa Arab, toleransi biasa disebut “ikhtimal”, “tasamuh” yang artinya membiarkan sesuatu untuk dapat saling mengizinkan dan saling memudahkan.
Toleransi menurut Syekh Salim bin Hilali memiliki karakteristik sebagai berikut, yaitu antara lain:
1.         Kerelaan hati karena kemuliaan dan kedermawanan
2.         Kelapangan dada karena kebersihan dan ketaqwaan
3.         Kelemah lembutan karena kemudahan
4.         Muka yang ceria karena kegembiraan
5.         Rendah diri dihadapan kaum muslimin bukan karena kehinaan
6.         Mudah dalam berhubungan sosial (mu'amalah) tanpa penipuan dan kelalaian
7.         Menggampangkan dalam berda'wah ke jalan Allah tanpa basa basi
8.         Terikat dan tunduk kepada agama Allah SWT tanpa rasa keberatan.
Dalam konteks ini Rasulullah SAW bersabda, yang artinya: “Sebaik-baik orang adalah yang memiliki hati yang mahmum dan lisan yang jujur”, ditanyakan: “Apa hati yang mahmum itu?” Jawabnya : “Adalah hati yang bertaqwa, bersih tidak ada dosa, tidak ada sikap melampui batas dan tidak ada rasa dengki”. Ditanyakan: “Siapa lagi (yang lebih baik) setelah itu?”. Jawabnya : “Orang-orang yang membenci dunia dan cinta akhirat”. Ditanyakan : “Siapa lagi setelah itu?”. Jawabnya: “Seorang mukmin yang berbudi pekerti luhur."
Dasar-dasar al-Sunnah (Hadis Nabi) tersebut dikemukakan untuk menegaskan bahwa toleransi dalam Islam itu sangat komprehensif dan serba-meliputi. Baik lahir maupun batin. Toleransi, karena itu, tak akan tegak jika tidak lahir dari hati, dari dalam. Ini berarti toleransi bukan saja memerlukan kesediaan ruang untuk menerima perbedaan, tetapi juga memerlukan pengorbanan material maupun spiritual, lahir maupun batin. Di sinilah, konsep Islam tentang toleransi (as-samahah) menjadi dasar bagi umat Islam untuk melakukan mu’amalah (hablum minan nas) yang ditopang oleh kaitan spiritual kokoh (hablum minallāh). (Syamsul Arifin Nababan, 2009:5)
Kesalahan memahami arti toleransi dapat mengakibatkan talbisul haqbil bathil (mencampuradukan antara hak dan bathil) yakni suatu sikap yang sangat dilarang dilakukan oleh seorang muslim, seperti halnya menikah antar agama dengan toleransi sebagai landasannya.  Sebagaimana yang telah dijelaskan diayat Al-Quran dibawah ini, Allah SWT berfirman:
“Sesungguhnya agama (yang diridhai) disisi Allah hanyalah Islam. Tiada berselisih orang-orang yang telah diberi Al Kitab kecuali sesudah datang pengetahuan kepada mereka karena kedengkian (yang ada) di antara mereka. Barangsiapa yang kafir terhadap ayat-ayat Allah maka sesungguhnya Allah sangat cepat hisab-Nya”. (QS.Ali Imran: 19)

Menurut kami, toleransi dapat disimpulkan sebagai sikap menghargai dan menghormati setiap orang yang berbeda-beda baik secara etnis, ras, bahasa, budaya, politik, pendirian, kepercayaan maupun tingkah laku.

Manfaat-manfaat yang diperoleh dari sikap toleransi antara lain:
1.         Menghindari Terjadinya Perpecahan
Bersikap toleran merupakan solusi agar tidak terjadi perpecahan dalam mengamalkan agama. Sikap bertoleransi harus menjadi suatu kesadaran pribadi yang selalu dibiasakan dalam wujud interaksi sosial. Toleransi dalam kehidupan beragama menjadi sangat mutlak adanya dengan eksisnya berbagai agama samawi maupun agama ardli dalam kehidupan umat manusia ini.
Dalam kaitanya ini Allah telah mengingatkan kepada umat manusia dengan pesan yang bersifat universal, berikut firman Allah SWT:
“Dia telah mensyari’atkan bagi kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa yaitu : Tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya. Amat berat bagi orang-orang musyrik agama yang kamu seru mereka kepadanya. Allah menarik kepada agama itu orang yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada -Nya orang yang kembali.”(As-Syuro:13)
Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, Maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu Karena nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara; dan kamu Telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari padanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk.” (Al-Imran:103)
Pesan universal ini merupakan pesan kepada segenap umat manusia tidak terkecuali, yang intinya dalam menjalankan agama harus menjauhi perpecahan antar umat beragama maupun sesama umat beragama.
2.         Memperkokoh Silaturahmi dan Menerima Perbedaan
Salah satu wujud dari toleransi hidup beragama adalah menjalin dan memperkokoh tali silaturahmi antarumat beragama dan menjaga hubungan yang baik dengan manusia lainnya. Pada umumnya, manusia tidak dapat menerima perbedaan antara sesamanya, perbedaan dijadikan alasan untuk bertentangan satu sama lainnya. Perbedaan agama merupakan salah satu faktor penyebab utama adanya konflik antar sesama manusia.
Merajut hubungan damai antar penganut agama hanya bisa dimungkinkan jika masing-masing pihak menghargai pihak lain. Mengembangkan sikap toleransi beragama, bahwa setiap penganut agama boleh menjalankan ajaran dan ritual agamanya dengan bebas dan tanpa tekanan. Oleh karena itu, hendaknya toleransi beragama kita jadikan kekuatan untuk memperkokoh silaturahmi dan menerima adanya perbedaan. Dengan ini, akan terwujud perdamaian, ketentraman, dan kesejahteraan.

Hal-hal yang dapat terjadi apabila toleransi di dalam masyarakat diabaikan adalah:
1.         Menimbulkan konflik di dalam masyarakat dikarenakan tidak adanya saling menghormati satu sama lain.  Yang paling membahayakan dari konfllik adalah menyebabkan lahirnya kekerasan dan adanya korban, dan hal ini dapat berpengaruh pada keamanan dan stabilitas suatu negara.
2.         Semakin maraknya pelanggaran HAM.  Hal ini disebabkan oleh reduksi universalitas agama yang mengakibatkan agama tersekat dalam tempurung yang sempit dan mewujudkan angan-angan tersendiri bagi pengikutnya bisa dalam bentuk fanatisme sempit yang tidak rasional bahkan menimbulkan ketakutan terhadap agama atau kelompok yang bisa terkespresi dengan perilaku melanggar HAM. (Hamdan Farchan, 2003:2)
Saling menghargai dalam iman dan keyakinan adalah konsep Islam yang amat komprehensif.  Konsekuensi dari prinsip ini adalah lahirnya spirit taqwa dalam beragama. Karena taqwa kepada Allah melahirkan rasa persaudaraan universal di antara umat manusia. Abu Ju’la  dengan amat menarik mengemukakan, “Al-khalqu kulluhum ‘iyālullāhi fa ahabbuhum ilahi anfa’uhum li’iyālihi” (“Semua makhluk adalah tanggungan Allah, dan yang paling dicintainya adalah yang paling bermanfaat bagi sesama tanggungannya”).
Selain itu, hadits Nabi tentang persaudaraan universal juga menyatakan, “irhamuu man fil ardhi yarhamukum man fil samā” (sayangilah orang yang ada di bumi maka akan sayang pula mereka yang di langit kepadamu).  Persaudaran universal adalah bentuk dari toleransi yang diajarkan Islam. Persaudaraan ini menyebabkan terlindunginya hak-hak orang lain dan diterimanya perbedaan dalam suatu masyarakat Islam. Dalam persaudaraan universal juga terlibat konsep keadilan, perdamaian, dan kerja sama yang saling menguntungkan serta menegasikan semua keburukan. (Syamsul Arifin Nababan, 2009:2)

Fakta historis toleransi juga dapat ditunjukkan melalui Piagam Madinah.  Piagam ini adalah satu contoh mengenai prinsip kemerdekaan beragama yang pernah dipraktikkan oleh Nabi Muhamad SAW pada awal pembangunan Negara Madinah. Di antara butir-butir yang menegaskan toleransi beragama adalah sikap saling menghormati di antara agama yang ada dan tidak saling menyakiti serta saling melindungi anggota yang terikat dalam Piagam Madinah.
Contoh lain wujud toleransi Islam kepada agama lain diperlihatkan oleh Umar ibn-al-Khattab.  Umar membuat sebuah perjanjian dengan penduduk Yerussalem, setelah kota suci itu ditaklukan oleh kaum Muslimin. (Ajat Sudrajat,2008:144).
Sikap melindungi dan saling tolong-menolong tanpa mempersoalkan perbedaan keyakinan juga muncul dalam sejumlah Hadist dan praktik Nabi. Bahkan sikap ini dianggap sebagai bagian yang melibatkan Tuhan. Sebagai contoh, dalam sebuah hadis yang diriwayatkan  dalam Syu’ab al-Imam, karya seorang pemikir abad ke-11, al-Baihaqi, dikatakan: “Siapa yang membongkar aib orang lain di dunia ini, maka Allah (nanti) pasti akan membongkar aibnya di hari pembalasan”. (Syamsul Arifin Nababan, 2009:3)
Di sini, saling tolong-menolong di antara sesama umat manusia muncul dari pemahaman bahwa umat manusia adalah satu kesatuan, dan akan kehilangan sifat kemanusiaannya bila mereka menyakiti satu sama lain. Tolong-menolong, sebagai bagian dari inti toleransi, menjadi prinsip yang sangat kuat di dalam Islam.
Namun, prinsip yang mengakar paling kuat dalam pemikiran Islam yang mendukung sebuah teologi toleransi adalah keyakinan kepada sebuah agama fitrah, yang tertanam di dalam diri semua manusia, dan kebaikan manusia merupakan konsekuensi alamiah dari prinsip ini.
Dalam konteks toleransi antar-umat beragama, Islam memiliki konsep yang jelas. “Tidak ada paksaan dalam agama”, “Bagi kalian agama kalian, dan bagi kami agama kami”  (QS. Al-Kafirun:6) adalah contoh populer dari toleransi dalam Islam .
Dalam hubungannya dengan orang-orang yang tidak seagama, Islam mengajarkan agar umat Islam berbuat baik dan bertindak adil.  Selama tidak berbuat aniaya kepada umat Islam.  Al-Qur’an juga mengajarkan agar umat Islam mengutamakan terciptanya suasana perdamaian, hingga timbul rasa kasih sayang diantara umat Islam dengan umat beragama lain.  Kerjasama dalam bidang kehidupan masyarakat seperti penyelenggaraan pendidikan, pemberantasan penyakit sosial, pembangunan ekonomi untuk mengatasi kemiskinan, adalah beberapa contoh kerja sama yang dilakukan antara umat Islam dengan umat beragama lain. (Ajat Sudrajat,2008:149)
Namum perlu ditegaskan lagi, toleransi tidak dapat disama artikan dengan mengakui kebenaran semua agama dan tidak pula dapat diartikan kesediaan untuk mengikuti ibadat-ibadat agama lain.  Toleransi harus dibedakan dari komfromisme, yaitu menerima apa saja yang dikatakan orang lain asal bis menciptakan kedamaian dan kebersamaan (Ajat Sudrajat, 2008:149).
Berbeda halnya dengan gagasan dan praktik toleransi yang ada di barat.  Toleransi di barat lahir karena perang-perang agama pada abad ke-17 telah mengoyak-ngoyak rasa kemanusiaan sehingga nyaris harga manusia jatuh ke titik nadir.  Latar belakang itu menghasilkan kesepakatan-kesepakatan di bidang.  Toleransi antar-agama yang kemudian meluas ke aspek-aspek kesetaraan manusia di depan hukum.

C.          Kerukunan Umat Beragama di Indonesia
Toleransi agama adalah suatu sikap saling pengertian dan menghargai tanpa adanya diskriminasi dalam hal apapun, yang mengkhususkan diri  dalam masalah agama
Pada tahun 1967 diadakan musyawarah antar umat beragama,  Presiden Soeharto dalam musyawarah tersebut menyatakan antara lain: "Pemerintah tidak akan menghalangi penyebaran suatu agama, dengan syarat penyebaran tersebut ditujukan bagi mereka yang belum beragama di Indonesia. Kepada semua pemuka agama dan masyarakat agar melakukan jiwa toleransi terhadap sesama umat beragama". (:1)
Kerukunan umat beragama adalah suatu bentuk sosialisasi yang damai dan tercipta berkat adanya toleransi agama. Kerukunan umat beragama bertujuan untuk memotivasi dan mendinamisasikan semua umat beragama agar dapat ikut serta dalam pembangunan bangsa dan menjadi hal yang sangat penting untuk mencapai sebuah kesejahteraan hidup dinegeri ini.
Ada tiga kerukunan umat beragama, yaitu sebagai berikut:
1.         Kerukunan intern umat beragama.
a.       Pertentangan di antara pemuka agama yang bersifat pribadi jangan mengakibatkan perpecahan di antara pengikutnya.
b.      Persoalan intern umat beragama dapat diselesaikan dengan semangat kerukunan atau tenggang rasa dan kekeluargaan
2.      Kerukunan antar umat beragama
a.       Keputusan Menteri Agama No.70 tahun 1978 tentang pensyiaran agama sebagai rule of game bagi pensyiaran dan pengembangan agama untuk menciptakan kerukunan hidup antar umat beragama.
b.      Pemerintah memberi perintah pedoman dan melindungi kebebasan memeluk agama dan melakukan ibadah menurut agamanya masing-masing.
c.       Keputusan Bersama Mendagri dan Menag No.l tahun 1979 tentang tata cara pelaksanaan pensyiaran agama dan bantuan luar negeri bagi lembaga keagamaan di Indonesia.
3.      Kerukunan umat beragama dengan pemerintah.
a.       Semua pihak menyadari kedudukannya masing-masing sebagai komponen orde baru dalam menegakkan kehidupan berbangsa dan bernegara.
b.      Antara pemerintah dengan umat beragama ditemukan apa yang saling diharapkan untuk dilaksanakan.
c.       Pemerintah mengharapkan tiga prioritas, umat beragama, diharapkan partisipasi aktif dan positif dalam:
1)         Pemantapan ideologi Pancasila;
2)         Pemantapan stabilitas dan ketahanan nasional;
3)         Suksesnya pembangunan nasional (:5)

Pelaksanaan dan Pembinaan tiga kerukunan tersebut harus simultan dan menyeluruh sebab hakikat ketiga bentuk itu saling berkaitan.  Kerukunan hidup umat beragama di Indonesia adalah program pemerintah sesuai dengan GBHN tahun 1999 dan Propenas 2000 tentang sasaran pembangunan bidang agama. Kerukunan hidup di Indonesia tidak termasuk aqidah atau keimanan menurut ajaran agama yang dianut oleh warga negara Indonesia, yaitu Islam, Kristen Protestan, Katolik, Hindudan Budha. Setiap umat beragama di beri kesempatan melakukan ibadah sesuai dengan keimanan dan kepercayaan masing-masing.

Sebab-musabab timbulnya ketegangan intern umat beragama, antar umat beragama, dan antara umat  beragama dengan pemerintah dapat bersumber dari berbagai aspek antara lain            :
1.         Sifat dari masing-masing agama, yang mengandung tugas dakwah atau misi
2.         Kurangnya pengetahuan para pemeluk agama akan agamanya sendiri dan agama pihak lain
3.         Para pemeluk agama tidak mampu menahan diri, sehingga kurang menghormati bahkan memandang rendah agama lain
4.         Kaburnya batas antara sikap memegang teguh keyakinan agama dan toleransi dalam kehidupan masyarakat
5.         Kecurigaan masing-masing akan kejujuran pihak lain, maupun antara umat beragama dengan pemerintah, dan
6.         Kurangnya saling pengertian dalam menghadapi masalah perbedaan pendapat (Ajat Sudrajat, 2008:151)

Manusia Indonesia satu bangsa, hidup dalam satu negara, satu ideology yaitu Pancasila, hal tersebut sebagai titik tolak pembangunan.  Perbedaan suku, adat dan agama bukanlah menjadi tombak permusuhan melainkan untuk memperkokoh persatuan. Kerukunan umat beragama dapat menjamin stabilitas sosial sebagai syarat mutlak pembangunan.  Selain itu kerukunan juga dapat dikerahkan dan dimanfaatkan untuk kelancaran pembangunan.
Ketidak rukunan menimbulkan bentrok dan perang agama serta mengancam kelangsungan hidup bangsa dan negara.  Kehidupan keagamaan dan kepercayaan harus dikembangkan sehingga terbina hidup rukun diantara sesama umat beragama untuk memperkokoh kesatuan dan persatuan bangsa dalam membangun masyarakat.  Selain itu, kebebasan beragama merupakan beban dan tanggungjawab untuk memelihara ketentraman masyarakat.
Kondisi keberagamaan rakyat Indonesia sejak pasca krisis tahun 1997 sangat memprihatinkan. Konflik bernuansa agama terjadi dibeberapa daerah seperti Ambon dan Poso. Konflik tersebut sangat mungkin terjadi karena kondisi rakyat Indonesia yang multi etnis, multi agama dan multi budaya. Belum lagi kondisi masyarakat Indonesia yang mudah terprovokasi oleh pihak ketiga yang merusak watak bangsaIndonesia yang suka damai dan rukun. Sementara itu krisis ekonomi dan politik terus melanda bangsa Indonesia, sehingga sebagian rakyat Indonesia sudah sangat tertekan baik dari segi ekonomi, politik maupun beragama. Terakhir peristiwa dihancurkannya gedung World Trade Centre pada tanggal 11 September 2001 dan bom Bali pada tanggal 12 Oktober 2002 yang menewaskan 180 orang, yang berdampak diidentikkannya umat Islam dengan teroris dan dituduhnya Indonesia sebagai sarang teroris. (:16)
Dalam menghadapi konflik seperti di atas dan sesuai prinsip-prinsip kerukunan hidup beragama di Indonesia, kebijakan umum yang harus dilaksanakan adalah sebagai berikut:
1.         Kebebasan beragama tidak membenarkan menjadikan orang lain yang telah menganut agama tertentu menjadi sasaran propaganda agama yang lain.
2.         Menggunakan bujukan berupa memberi uang, pakaian, makanan dan lainnya supaya orang lain pindah agama adalah tidak dibenarkan.
3.         Penyebaran pamflet, majalah, buletin dan buku-buku dari rumah ke rumah umat beragama lain adalah terlarang.
4.         Pendirian rumah ibadah harus benar-benar sesuai dengan kebutuhan umat dan dihindarkan timbulnya keresahan penganut agama lain karena mendirikan rumah ibadah di daerah pemukiman yang tidak ada penganut agama tersebut.
5.         Dalam masalah perkawinan, terlarang perkawinan antara umat Islam dengan penganut agama lain, seperti diatur dalam Undang-Undang Perkawinan No. 1 tahun 1974. Demikian pula dalam Al-Qur'an pada Surat Al-Maidah (5) ayat 5 dan Al-Baqarah (2) ayat 221.
6.         Sasaran pembangunan bidang agama adalah terciptanya suasana kehidupan beragama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa yang penuh keimanan dan ketaqwaan, kerukunan yang dinamis antar dan antara umat beragama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa secara bersama-sama makin memperkuat landasan spiritual, moral dan etika bagi pembangunan nasional. Sebagai warga negara Indonesia, umat Islam Indonesia harus berpartisipasi secara langsung dalam pembangunan negara Indonesia, bersama pemeluk agama lain. Islam tidak membenarkan umat Islam bersikap eksklusif dalam tugas dan kewajiban bersama sebagai anggota warga negara Indonesia. (:17)

Agama menampakkan diri dalam berbagai perwujudan, seperti terlihat dalam sistem pemikirannya, baik yang berupa sistem keyakinan maupun norma. Ia juga menampakkan diri lebih lanjut dalam bentuk sistem peribadatan, dan ini terlihat dengan adanya rumah-rumah ibadah dan tradisi-tradisi keagamaan. Penampakkan lebih lanjut terlihat dalam bentuk persekutuan atau kelembagaan keagamaan, seperti adanya kelompok-kelompok umat beragama dan lembaga-lembaga keagamaan serta lembaga-lembaga sosial keagamaan. (Ajat Sudrajat,2008:152)
Melalui perwujudan yang bercorak kelembagaan, agama menjadi kekuatan nyata dalam proses pembangunan bangsa. Otoritas kepemimpinan keagamaan merupakan faktor yang ikut menentukan pola kesatuan dan kerukunan umat beragama. Dengan otoritas tersebut, para pemimpin agama beserta lembaga-lembaga keagamaannya menggarap masalah-masalah yang tidak terjangkau oleh tangan pemerintah.
Peranan para pemimpin dan tokoh agama dalam pembangunan antara lain sebagai berikut :
1.         Menerjemahkan nilai-nilai dan norma-norma agama dalam kehidupan masyarakat
2.         Menerjemahkan gagasan-gagasan pembangunan kedalam bahasa yang dimengerti oleh rakyat
3.         Memberikan pendapat, saran dan krtitik yang sehat terhadap ide-ide dan cara-cara yang dilakukan untuk suksesnya pembangunan, dan
4.         Mendorong dan membimbing masyarakat dan umat beragama untuk ikut serta dalam usaha pembangunan (Ajat Sudrajat, 2008:152-153)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar