Toleransi berasal dari bahasa Latin
yaitu “tolerare” yang berarti bertahan atau memikul.
Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia, toleransi berasal dari kata “toleran”,
yang berarti bersifat atau bersikap menenggang (menghargai, membiarkan,
membolehkan), pendirian (pendapat, pandangan, kepercayaan, kebiasaan, dan
sebagainya) yang berbeda dan atau yang bertentangan dengan pendiriannya.
Toleransi juga berarti batas ukur untuk penambahan atau pengurangan yang masih
diperbolehkan.
Menurut Siagian (1993) toleran
diartikan dengan saling memikul walaupun pekerjaan itu tidak disukai; atau
memberi tempat kepada orang lain, walaupun kedua belah pihak tidak sependapat.
(Ajat Sudrajat, 2008:141)
Dalam bahasa Arab, toleransi biasa
disebut “ikhtimal”, “tasamuh” yang artinya membiarkan sesuatu untuk
dapat saling mengizinkan dan saling memudahkan.
Toleransi menurut Syekh Salim bin
Hilali memiliki karakteristik sebagai berikut, yaitu antara lain:
1.
Kerelaan hati karena kemuliaan dan kedermawanan
2.
Kelapangan dada karena kebersihan dan ketaqwaan
3.
Kelemah lembutan karena kemudahan
4.
Muka yang ceria karena kegembiraan
5.
Rendah diri dihadapan kaum muslimin bukan karena kehinaan
6.
Mudah dalam berhubungan sosial (mu'amalah) tanpa penipuan dan kelalaian
7.
Menggampangkan dalam berda'wah ke jalan Allah tanpa basa basi
8.
Terikat dan tunduk kepada agama Allah SWT tanpa rasa keberatan.
Dalam konteks ini Rasulullah SAW
bersabda, yang artinya: “Sebaik-baik orang adalah yang memiliki hati yang
mahmum dan lisan yang jujur”, ditanyakan: “Apa hati yang mahmum itu?” Jawabnya
: “Adalah hati yang bertaqwa, bersih tidak ada dosa, tidak ada sikap melampui
batas dan tidak ada rasa dengki”. Ditanyakan: “Siapa lagi (yang lebih baik)
setelah itu?”. Jawabnya : “Orang-orang yang membenci dunia dan cinta akhirat”.
Ditanyakan : “Siapa lagi setelah itu?”. Jawabnya: “Seorang mukmin yang berbudi
pekerti luhur."
Dasar-dasar al-Sunnah (Hadis Nabi)
tersebut dikemukakan untuk menegaskan bahwa toleransi dalam Islam itu sangat
komprehensif dan serba-meliputi. Baik lahir maupun batin. Toleransi, karena
itu, tak akan tegak jika tidak lahir dari hati, dari dalam. Ini berarti
toleransi bukan saja memerlukan kesediaan ruang untuk menerima perbedaan,
tetapi juga memerlukan pengorbanan material maupun spiritual, lahir maupun
batin. Di sinilah, konsep Islam tentang toleransi (as-samahah) menjadi dasar
bagi umat Islam untuk melakukan mu’amalah (hablum minan nas) yang ditopang oleh
kaitan spiritual kokoh (hablum minallāh). (Syamsul Arifin Nababan,
2009:5)
Kesalahan memahami arti toleransi
dapat mengakibatkan talbisul haqbil bathil (mencampuradukan antara hak dan
bathil) yakni suatu sikap yang sangat dilarang dilakukan oleh seorang muslim,
seperti halnya menikah antar agama dengan toleransi sebagai landasannya.
Sebagaimana yang telah dijelaskan diayat Al-Quran dibawah ini, Allah SWT
berfirman:
“Sesungguhnya agama (yang diridhai)
disisi Allah hanyalah Islam. Tiada berselisih orang-orang yang telah diberi Al
Kitab kecuali sesudah datang pengetahuan kepada mereka karena kedengkian (yang
ada) di antara mereka. Barangsiapa yang kafir terhadap ayat-ayat Allah maka
sesungguhnya Allah sangat cepat hisab-Nya”. (QS.Ali Imran: 19)
Menurut kami, toleransi dapat
disimpulkan sebagai sikap menghargai dan menghormati setiap orang yang
berbeda-beda baik secara etnis, ras, bahasa, budaya, politik, pendirian,
kepercayaan maupun tingkah laku.
Manfaat-manfaat yang diperoleh dari sikap toleransi antara lain:
1.
Menghindari Terjadinya Perpecahan
Bersikap
toleran merupakan solusi agar tidak terjadi perpecahan dalam mengamalkan agama.
Sikap bertoleransi harus menjadi suatu kesadaran pribadi yang selalu dibiasakan
dalam wujud interaksi sosial. Toleransi dalam kehidupan beragama menjadi sangat
mutlak adanya dengan eksisnya berbagai agama samawi maupun agama ardli dalam
kehidupan umat manusia ini.
Dalam kaitanya
ini Allah telah mengingatkan kepada umat manusia dengan pesan yang bersifat
universal, berikut firman Allah SWT:
“Dia telah mensyari’atkan bagi kamu tentang agama apa yang telah
diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan apa
yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa yaitu : Tegakkanlah
agama dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya. Amat berat bagi orang-orang
musyrik agama yang kamu seru mereka kepadanya. Allah menarik kepada agama itu
orang yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada -Nya orang yang
kembali.”(As-Syuro:13)
”Dan
berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu
bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu
(masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, Maka Allah mempersatukan hatimu, lalu
menjadilah kamu Karena nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara; dan kamu
Telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari padanya.
Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat
petunjuk.” (Al-Imran:103)
Pesan universal
ini merupakan pesan kepada segenap umat manusia tidak terkecuali, yang intinya
dalam menjalankan agama harus menjauhi perpecahan antar umat beragama maupun sesama
umat beragama.
2.
Memperkokoh Silaturahmi dan Menerima Perbedaan
Salah satu
wujud dari toleransi hidup beragama adalah menjalin dan memperkokoh tali
silaturahmi antarumat beragama dan menjaga hubungan yang baik dengan manusia
lainnya. Pada umumnya, manusia tidak dapat menerima perbedaan antara sesamanya,
perbedaan dijadikan alasan untuk bertentangan satu sama lainnya. Perbedaan
agama merupakan salah satu faktor penyebab utama adanya konflik antar sesama
manusia.
Merajut
hubungan damai antar penganut agama hanya bisa dimungkinkan jika masing-masing
pihak menghargai pihak lain. Mengembangkan sikap toleransi beragama, bahwa
setiap penganut agama boleh menjalankan ajaran dan ritual agamanya dengan bebas
dan tanpa tekanan. Oleh karena itu, hendaknya toleransi beragama kita jadikan
kekuatan untuk memperkokoh silaturahmi dan menerima adanya perbedaan. Dengan
ini, akan terwujud perdamaian, ketentraman, dan kesejahteraan.
Hal-hal yang
dapat terjadi apabila toleransi di dalam masyarakat diabaikan adalah:
1.
Menimbulkan konflik di dalam masyarakat dikarenakan tidak adanya saling
menghormati satu sama lain. Yang paling membahayakan dari konfllik adalah
menyebabkan lahirnya kekerasan dan adanya korban, dan hal ini dapat berpengaruh
pada keamanan dan stabilitas suatu negara.
2.
Semakin maraknya pelanggaran HAM. Hal ini disebabkan oleh reduksi
universalitas agama yang mengakibatkan agama tersekat dalam tempurung yang
sempit dan mewujudkan angan-angan tersendiri bagi pengikutnya bisa dalam bentuk
fanatisme sempit yang tidak rasional bahkan menimbulkan ketakutan terhadap
agama atau kelompok yang bisa terkespresi dengan perilaku melanggar HAM.
(Hamdan Farchan, 2003:2)
Saling menghargai dalam iman dan
keyakinan adalah konsep Islam yang amat komprehensif. Konsekuensi dari
prinsip ini adalah lahirnya spirit taqwa dalam beragama. Karena taqwa kepada
Allah melahirkan rasa persaudaraan universal di antara umat manusia. Abu
Ju’la dengan amat menarik mengemukakan, “Al-khalqu kulluhum
‘iyālullāhi fa ahabbuhum ilahi anfa’uhum li’iyālihi” (“Semua makhluk adalah
tanggungan Allah, dan yang paling dicintainya adalah yang paling bermanfaat
bagi sesama tanggungannya”).
Selain itu, hadits Nabi tentang
persaudaraan universal juga menyatakan, “irhamuu man fil ardhi yarhamukum
man fil samā” (sayangilah orang yang ada di bumi maka akan sayang pula
mereka yang di langit kepadamu). Persaudaran universal adalah bentuk dari
toleransi yang diajarkan Islam. Persaudaraan ini menyebabkan terlindunginya hak-hak
orang lain dan diterimanya perbedaan dalam suatu masyarakat Islam. Dalam
persaudaraan universal juga terlibat konsep keadilan, perdamaian, dan kerja
sama yang saling menguntungkan serta menegasikan semua keburukan. (Syamsul
Arifin Nababan, 2009:2)
Fakta historis toleransi juga dapat
ditunjukkan melalui Piagam Madinah. Piagam ini adalah satu contoh
mengenai prinsip kemerdekaan beragama yang pernah dipraktikkan oleh Nabi
Muhamad SAW pada awal pembangunan Negara Madinah. Di antara butir-butir yang menegaskan
toleransi beragama adalah sikap saling menghormati di antara agama yang ada dan
tidak saling menyakiti serta saling melindungi anggota yang terikat dalam
Piagam Madinah.
Contoh lain wujud toleransi Islam
kepada agama lain diperlihatkan oleh Umar ibn-al-Khattab. Umar membuat
sebuah perjanjian dengan penduduk Yerussalem, setelah kota suci itu ditaklukan
oleh kaum Muslimin. (Ajat Sudrajat,2008:144).
Sikap melindungi dan saling
tolong-menolong tanpa mempersoalkan perbedaan keyakinan juga muncul dalam
sejumlah Hadist dan praktik Nabi. Bahkan sikap ini dianggap sebagai bagian yang
melibatkan Tuhan. Sebagai contoh, dalam sebuah hadis yang diriwayatkan
dalam Syu’ab al-Imam, karya seorang pemikir abad ke-11, al-Baihaqi, dikatakan:
“Siapa yang membongkar aib orang lain di dunia ini, maka Allah (nanti) pasti
akan membongkar aibnya di hari pembalasan”. (Syamsul Arifin Nababan,
2009:3)
Di sini, saling tolong-menolong di
antara sesama umat manusia muncul dari pemahaman bahwa umat manusia adalah satu
kesatuan, dan akan kehilangan sifat kemanusiaannya bila mereka menyakiti satu
sama lain. Tolong-menolong, sebagai bagian dari inti toleransi, menjadi prinsip
yang sangat kuat di dalam Islam.
Namun, prinsip yang mengakar paling
kuat dalam pemikiran Islam yang mendukung sebuah teologi toleransi adalah
keyakinan kepada sebuah agama fitrah, yang tertanam di dalam diri semua
manusia, dan kebaikan manusia merupakan konsekuensi alamiah dari prinsip ini.
Dalam konteks
toleransi antar-umat beragama, Islam memiliki konsep yang jelas. “Tidak ada
paksaan dalam agama”, “Bagi kalian agama kalian, dan bagi kami agama kami”
(QS. Al-Kafirun:6) adalah contoh populer dari toleransi dalam Islam .
Dalam
hubungannya dengan orang-orang yang tidak seagama, Islam mengajarkan agar umat
Islam berbuat baik dan bertindak adil. Selama tidak berbuat aniaya kepada
umat Islam. Al-Qur’an juga mengajarkan agar umat Islam mengutamakan
terciptanya suasana perdamaian, hingga timbul rasa kasih sayang diantara umat
Islam dengan umat beragama lain. Kerjasama dalam bidang kehidupan
masyarakat seperti penyelenggaraan pendidikan, pemberantasan penyakit sosial,
pembangunan ekonomi untuk mengatasi kemiskinan, adalah beberapa contoh kerja
sama yang dilakukan antara umat Islam dengan umat beragama lain. (Ajat Sudrajat,2008:149)
Namum perlu
ditegaskan lagi, toleransi tidak dapat disama artikan dengan mengakui kebenaran
semua agama dan tidak pula dapat diartikan kesediaan untuk mengikuti
ibadat-ibadat agama lain. Toleransi harus dibedakan dari komfromisme,
yaitu menerima apa saja yang dikatakan orang lain asal bis menciptakan
kedamaian dan kebersamaan (Ajat Sudrajat, 2008:149).
Berbeda halnya dengan gagasan dan
praktik toleransi yang ada di barat. Toleransi di barat lahir karena
perang-perang agama pada abad ke-17 telah mengoyak-ngoyak rasa kemanusiaan
sehingga nyaris harga manusia jatuh ke titik nadir. Latar belakang itu
menghasilkan kesepakatan-kesepakatan di bidang. Toleransi antar-agama
yang kemudian meluas ke aspek-aspek kesetaraan manusia di depan hukum.
C.
Kerukunan Umat Beragama di Indonesia
Toleransi agama
adalah suatu sikap saling pengertian dan menghargai tanpa adanya diskriminasi
dalam hal apapun, yang mengkhususkan diri dalam masalah agama
Pada tahun 1967 diadakan
musyawarah antar umat beragama, Presiden Soeharto dalam musyawarah
tersebut menyatakan antara lain: "Pemerintah tidak akan menghalangi
penyebaran suatu agama, dengan syarat penyebaran tersebut ditujukan bagi mereka
yang belum beragama di Indonesia. Kepada semua pemuka agama dan masyarakat agar
melakukan jiwa toleransi terhadap sesama umat beragama". (:1)
Kerukunan umat
beragama adalah suatu bentuk sosialisasi yang damai dan tercipta berkat adanya
toleransi agama. Kerukunan
umat beragama bertujuan untuk memotivasi dan mendinamisasikan semua umat
beragama agar dapat ikut serta dalam pembangunan bangsa dan menjadi hal
yang sangat penting untuk mencapai sebuah kesejahteraan hidup dinegeri ini.
Ada tiga kerukunan umat beragama,
yaitu sebagai berikut:
1.
Kerukunan intern umat beragama.
a.
Pertentangan di antara pemuka agama yang bersifat pribadi jangan mengakibatkan
perpecahan di antara pengikutnya.
b.
Persoalan intern umat beragama dapat diselesaikan dengan semangat kerukunan
atau tenggang rasa dan kekeluargaan
2.
Kerukunan antar umat beragama
a.
Keputusan Menteri Agama No.70 tahun 1978 tentang pensyiaran agama sebagai rule
of game bagi pensyiaran dan pengembangan agama untuk menciptakan kerukunan
hidup antar umat beragama.
b.
Pemerintah memberi perintah pedoman dan melindungi kebebasan memeluk agama dan
melakukan ibadah menurut agamanya masing-masing.
c.
Keputusan Bersama Mendagri dan Menag No.l tahun 1979 tentang tata cara pelaksanaan
pensyiaran agama dan bantuan luar negeri bagi lembaga keagamaan di Indonesia.
3.
Kerukunan umat beragama dengan pemerintah.
a.
Semua pihak menyadari kedudukannya masing-masing sebagai komponen orde baru
dalam menegakkan kehidupan berbangsa dan bernegara.
b.
Antara pemerintah dengan umat beragama ditemukan apa yang saling diharapkan
untuk dilaksanakan.
c.
Pemerintah mengharapkan tiga prioritas, umat beragama, diharapkan partisipasi
aktif dan positif dalam:
1)
Pemantapan ideologi Pancasila;
2)
Pemantapan stabilitas dan ketahanan nasional;
3)
Suksesnya pembangunan nasional (:5)
Pelaksanaan dan
Pembinaan tiga kerukunan tersebut harus simultan dan menyeluruh sebab hakikat
ketiga bentuk itu saling berkaitan. Kerukunan hidup umat beragama di
Indonesia adalah program pemerintah sesuai dengan GBHN tahun 1999 dan Propenas
2000 tentang sasaran pembangunan bidang agama. Kerukunan hidup di Indonesia
tidak termasuk aqidah atau keimanan menurut ajaran agama yang dianut oleh warga
negara Indonesia, yaitu Islam, Kristen Protestan, Katolik, Hindudan Budha.
Setiap umat beragama di beri kesempatan melakukan ibadah sesuai dengan keimanan
dan kepercayaan masing-masing.
Sebab-musabab
timbulnya ketegangan intern umat beragama, antar umat beragama, dan antara
umat beragama dengan pemerintah dapat bersumber dari berbagai aspek
antara lain :
1.
Sifat dari masing-masing agama, yang mengandung tugas dakwah atau misi
2.
Kurangnya pengetahuan para pemeluk agama akan agamanya sendiri dan agama pihak
lain
3.
Para pemeluk agama tidak mampu menahan diri, sehingga kurang menghormati bahkan
memandang rendah agama lain
4.
Kaburnya batas antara sikap memegang teguh keyakinan agama dan toleransi dalam
kehidupan masyarakat
5.
Kecurigaan masing-masing akan kejujuran pihak lain, maupun antara umat beragama
dengan pemerintah, dan
6.
Kurangnya saling pengertian dalam menghadapi masalah perbedaan pendapat (Ajat
Sudrajat, 2008:151)
Manusia Indonesia satu
bangsa, hidup dalam satu negara, satu ideology yaitu Pancasila, hal tersebut
sebagai titik tolak pembangunan. Perbedaan suku, adat dan agama bukanlah
menjadi tombak permusuhan melainkan untuk memperkokoh persatuan. Kerukunan umat
beragama dapat menjamin stabilitas sosial sebagai syarat mutlak
pembangunan. Selain itu kerukunan juga dapat dikerahkan dan dimanfaatkan
untuk kelancaran pembangunan.
Ketidak rukunan
menimbulkan bentrok dan perang agama serta mengancam kelangsungan hidup bangsa
dan negara. Kehidupan keagamaan dan kepercayaan harus dikembangkan
sehingga terbina hidup rukun diantara sesama umat beragama untuk memperkokoh
kesatuan dan persatuan bangsa dalam membangun masyarakat. Selain itu,
kebebasan beragama merupakan beban dan tanggungjawab untuk memelihara
ketentraman masyarakat.
Kondisi keberagamaan
rakyat Indonesia sejak pasca krisis tahun 1997 sangat memprihatinkan. Konflik
bernuansa agama terjadi dibeberapa daerah seperti Ambon dan Poso. Konflik
tersebut sangat mungkin terjadi karena kondisi rakyat Indonesia yang multi
etnis, multi agama dan multi budaya. Belum lagi kondisi masyarakat Indonesia
yang mudah terprovokasi oleh pihak ketiga yang merusak watak bangsaIndonesia
yang suka damai dan rukun. Sementara itu krisis ekonomi dan politik terus
melanda bangsa Indonesia, sehingga sebagian rakyat Indonesia sudah sangat
tertekan baik dari segi ekonomi, politik maupun beragama. Terakhir peristiwa
dihancurkannya gedung World Trade Centre pada tanggal 11 September 2001 dan bom
Bali pada tanggal 12 Oktober 2002 yang menewaskan 180 orang, yang berdampak
diidentikkannya umat Islam dengan teroris dan dituduhnya Indonesia sebagai
sarang teroris. (:16)
Dalam menghadapi konflik
seperti di atas dan sesuai prinsip-prinsip kerukunan hidup beragama di
Indonesia, kebijakan umum yang harus dilaksanakan adalah sebagai berikut:
1.
Kebebasan beragama tidak membenarkan menjadikan orang lain yang telah menganut
agama tertentu menjadi sasaran propaganda agama yang lain.
2.
Menggunakan bujukan berupa memberi uang, pakaian, makanan dan lainnya supaya
orang lain pindah agama adalah tidak dibenarkan.
3.
Penyebaran pamflet, majalah, buletin dan buku-buku dari rumah ke rumah umat
beragama lain adalah terlarang.
4.
Pendirian rumah ibadah harus benar-benar sesuai dengan kebutuhan umat dan
dihindarkan timbulnya keresahan penganut agama lain karena mendirikan rumah
ibadah di daerah pemukiman yang tidak ada penganut agama tersebut.
5.
Dalam masalah perkawinan, terlarang perkawinan antara umat Islam dengan
penganut agama lain, seperti diatur dalam Undang-Undang Perkawinan No. 1 tahun
1974. Demikian pula dalam Al-Qur'an pada Surat Al-Maidah (5) ayat 5 dan
Al-Baqarah (2) ayat 221.
6.
Sasaran pembangunan bidang agama adalah terciptanya suasana kehidupan beragama
dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa yang penuh keimanan dan ketaqwaan,
kerukunan yang dinamis antar dan antara umat beragama dan kepercayaan terhadap
Tuhan Yang Maha Esa secara bersama-sama makin memperkuat landasan spiritual,
moral dan etika bagi pembangunan nasional. Sebagai warga negara Indonesia, umat
Islam Indonesia harus berpartisipasi secara langsung dalam pembangunan negara
Indonesia, bersama pemeluk agama lain. Islam tidak membenarkan umat Islam
bersikap eksklusif dalam tugas dan kewajiban bersama sebagai anggota warga
negara Indonesia. (:17)
Agama
menampakkan diri dalam berbagai perwujudan, seperti terlihat dalam sistem
pemikirannya, baik yang berupa sistem keyakinan maupun norma. Ia juga
menampakkan diri lebih lanjut dalam bentuk sistem peribadatan, dan ini terlihat
dengan adanya rumah-rumah ibadah dan tradisi-tradisi keagamaan. Penampakkan
lebih lanjut terlihat dalam bentuk persekutuan atau kelembagaan keagamaan,
seperti adanya kelompok-kelompok umat beragama dan lembaga-lembaga keagamaan
serta lembaga-lembaga sosial keagamaan. (Ajat Sudrajat,2008:152)
Melalui
perwujudan yang bercorak kelembagaan, agama menjadi kekuatan nyata dalam proses
pembangunan bangsa. Otoritas kepemimpinan keagamaan merupakan faktor yang
ikut menentukan pola kesatuan dan kerukunan umat beragama. Dengan otoritas
tersebut, para pemimpin agama beserta lembaga-lembaga keagamaannya menggarap
masalah-masalah yang tidak terjangkau oleh tangan pemerintah.
Peranan para
pemimpin dan tokoh agama dalam pembangunan antara lain sebagai berikut :
1.
Menerjemahkan nilai-nilai dan norma-norma agama dalam kehidupan masyarakat
2.
Menerjemahkan gagasan-gagasan pembangunan kedalam bahasa yang dimengerti oleh
rakyat
3.
Memberikan pendapat, saran dan krtitik yang sehat terhadap ide-ide dan
cara-cara yang dilakukan untuk suksesnya pembangunan, dan
4.
Mendorong dan membimbing masyarakat dan umat beragama untuk ikut serta dalam
usaha pembangunan (Ajat Sudrajat, 2008:152-153)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar